Anak Pertama Disebut Bahasa Jawa

Anak Pertama Disebut Bahasa Jawa

Simak mitos dan fakta seputar pernikahan anak pertama dengan anak pertama menurut primbon Jawa. Apakah benar membawa keberuntungan atau justru sebaliknya?

Moms, Anak pertama menikah dengan anak terakhir mitosnya tidak akan langgeng.

Bahkan, baiknya untuk tidak menikah. Namun, benarkah demikian?

Menurut kepercayaan Jawa, terdapat sebuah mitos yang masih dipercaya oleh sebagian masyarakat.

Kepercayaan itu berupa pernikahan "tumbu ketemu tutup" yaitu pernikahan anak pertama dengan anak terakhir.

Ada juga yang menyebutkan sebagai perkawinan yang kedua mempelainya dianggap serasi, cocok dan pas.

Serasi di sini dalam artian karakter gaya hidup, misal serasi, rajin dengan rajin.

Dilansir dari UIN Satu Tulungagung Institutional Repository, kepercayaan ini sudah ada sejak zaman dahulu.

Bahkan, dalam karya-karya Sultan Agung, sang raja Jawa yang mengembangkan primbon, neton, dan perjodohan, istilah “tumbu ketemu tutup” tercatat di dalamnya.

Istilah tersebut mengandung makna yang sama, serasi, cocok.

Semisal orang yang hemat menikah dengan orang yang sama hematnya juga, atau orang yang pekerja keras menikah dengan orang yang sama pekerja keras juga.

Pasangan suami istri yang menikah dan dijuluki “Tumbu ketemu tutup” merupakan mereka yang dalam banyak sisi memiliki kecocokan.

Ibarat timbangan, keduanya bernilai sama, tidak berat ataupun ringan sebelah.

Tidak diketahui secara pasti darimana asal mula istilah “tumbu ketemu tutup”, lho Moms.

Namun, istilah "tumbu ketemu tutup" ini terjadi karena adat kebiasaan masyarakat itu sendiri dan mengalir begitu saja menjadi sebuah peribahasa atau ungkapan.

Dari turun temurun sudah ada istilah tersebut, dan itu menjadi kebiasaan orang jawa.

Baca Juga: Begini Cara Menghitung Weton Jawa untuk Pernikahan, Calon Pengantin Wajib Tahu!

Anak Pertama Menikah dengan Anak Terakhir

Foto: Pernikahan Adat Jawa (Orami Photo Stock)

Dilansir dari Journal Law and Family Studies Al Syakkhiyyah, berikut ini cara mencapai keluarga impian anak pertama menikah dengan anak terakhir menurut adat Jawa:

Mikul Dhuwur Mendhem Jero

Anak pertama menikah dengan anak terakhir selanjutnya adalah mikul dhuwur mendhem jero.

Mikul dhuwur mendhem jero adalah sikap seorang anak untuk menjunjung tinggi kehormatan kedua orang tua.

Caranya adalah dengan menyimpan aib serta kekurangan orang tua sebaik mungkin, sekaligus mengharumkan jasa orang tua.

Selain diwajibkan bagi setiap anak, sikap ini secara khusus juga harus dilakukan suami-istri dalam keluarga.

Artinya, seorang suami harus menutup rapat-rapat aib, kekurangan dan kelemahan yang dimiliki oleh istri.

Caranya dengan menampilkan kelebihan, keunggulan, serta kehebatan yang dimilikinya.

Begitu pula sebaliknya sikap istri terhadap suami harus mikul dhuwur mendhem jero.

Dengan begitu, perjalanan rumah tangga membuat keluarga harmonis secara lahir maupun batin.

Pasang sumeh njroning ati berarti suami dan istri dalam menjalankan kehidupan rumah tangga harus...

Pernikahan, menjadi hal yang diimpikan oleh setiap insan. Menemukan sosok sejati yang dikirimkan oleh Allah swt. dalam hidup kita untuk menggenapkan separuh agama bersama, adalah hal yang paling dinantikan. Namun, terkadang tidak semua kondisi bisa membuat seseorang dan calon pasangannya dapat mulus ke jenjang pernikahan. Ujian yang datang bisa saja menghambat bahkan tak jarang menjadi jurang menuju kegagalan.

Topik yang masih sering menjadi obrolan hangat saat akan memutuskan untuk menikah adalah hal-hal yang berhubungan dengan adat. Terutama, bagi kita yang tinggal di lingkungan kental akan adat budaya.

Dari berbagai budaya yang ada, Jawa masih menjadi patokan beberapa orang tua dalam pernikahan sang anak. Mulai dari persiapan, prosesi, bahkan hingga pasca pernikahan pun banyak hal detil yang harus diperhatikan.

Salah satu hal yang ada dalam pernikahan dengan adat Jawa adalah anak pertama dilarang menikah dengan anak ketiga. Atau dalam istilah adat Jawa, beberapa orang mengenalnya dengan jilu (siji telu) atau lusan (telu lan pisan). Banyak pantangan yang membuat keduanya benar-benar tidak boleh bersatu. Mulai dari seret rezeki, pertengkaran dengan karakter masing-masing, akan selalu datang banyak masalah, bahkan hingga akan ada kematian dari salah satunya.

Lalu, bagaimana bila keduanya telah memang benar-benar mantap, dan ingin melangsungkan pernikahan seutuhnya Lillahi Ta’ala? Dan bagaimana bila yang menentang keduanya dengan mitos-mitos seperti hal tersebut adalah orang tua dari salah satu calon mempelai?

Allah swt. telah berfirman,

وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَىٰ

“dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita.” (Qs. An-Najm: 45).

Dari ayat tersebut, maka yakinlah bahwa setiap dari kita telah Allah siapkan pasangan terbaik. Tinggal bagaimana usaha dan doa yang selalu kita panjatkan untuk bisa menjemputnya.

Dalam ajaran Islam, tidak ada kaitannya peringkat (urutan) anak dalam keberlangsungan pernikahan. Tidak ada aturan yang mengatur hal-hal seperti itu. Maka, sebenarnya jangan pernah takut untuk berkata tidak, atau menolak dengan halus hal-hal adat atau mitos-mitos tertentu yang sudah jelas tidak ada dalil dalam ajaran Islam.

Namun, memang sebagai seorang anak apalagi masih berstatus calon menantu, hendaknya kita juga bisa lebih bijak dan hati-hati dalam bertindak. Jangan sampai salah mengkomunikasikan apa yang kita ketahui dan yakini kepada pihak orang tua atau calon mertua, hingga kemudian mereka mengsalah artikan bahwa kita ini radikal atau bahkan dianggap anak yang tidak tahu tata krama serta tidak menghargai adat budaya.

Urusan menolak dan menyetujui adanya hal-hal demikian dalam sebuah pernikahan, itu murni ada di tangan kedua calon mempelai. Bukan orang tua. Berbeda hal, jika dalam pandangan agama calon menantu tidak seagama, maka harus ada pengarahan orang tua bahwa kebahagiaan yang hendak dicari bukan hanya urusan dunia, melainkan juga kelak di akhirat. Sehingga kita (sebagai anak) memahami alasan mengapa orang tua tidak setuju.

Bukan sekedar tidak setuju karena suatu kepercayaan tertentu yang bahkan tidak dituliskan dalam Islam. Itulah sebabnya, kepada para wali hendaknya meminta persetujuan si gadis yang hendak dinikahkannya. Jika orang tua tetap menolak, maka bisa menikah dengan wali hakim. Harus manut itu jika dalam kebenaran, maka dalam hal melawan syariat orang boleh tidak taat.

Pun cobalah mencari orang yang terdekat dengan orang tua kita untuk bisa memberikan perngertian kepada mereka. Supaya tidak terkesan kita seperti sedang menggurui orang tua atas pilihan kita yang sebenarnya sudah sesuai dengan syariat Islam. Karena restu orang tua masih merupakan hal yang sangat penting, demi menjaga keindahan rumah tangga kelak.

Berbagai pantangan ditakutkan ada, padahal kita tahu bahwa Allah yang menentukan kesemuanya dan akan selalu ada.

Disadur dari Majalah Al Falah Edisi Agustus 2018

Walimatul ’Ursy dalam Islam | YDSF

KRITERIA JODOH DALAM ISLAM | YDSF

Pilar Dakwah Di Rumah Kita

3 TIPS AMPUH MENJEMPUT JODOH IMPIAN | YDSF

Zakat Profesi atau Penghasilan | YDSF

Karakteristik Para Hamba yang Dicintai Allah  | YDSF

WAKTU TERBAIK TERKABULNYA DOA | YDSF

Laksana Mimi Lan Mintuna

Mimi lan Mintuna adalah binatang yang tidak pernah berpisah satu sama lain.

Sebab, sifatnya melekat dan tidak pernah berpisah.

Binatang tersebut dijadikan lambang bagi suami istri untuk selalu bersatu padu secara lahir dan batin.

Tujuannya, agar keduanya dapat hidup tenang, tenteram, dan selamat.

Pasangan suami istri yang menjalani kehidupan berumah tangga harus menerapkan asas setel kendho.

Asas tersebut adalah saling mengendalikan keinginan diri dan pasangan agar hubungan harmonis.

Keduanya merupakan tokoh fenomenal dalam cerita pewayangan yang hidupnya selalu rukun, tidak bertengkar ataupun berpisah.

Baca Juga: Cara Menghitung Hari Baik Pernikahan Menurut Primbon Jawa

Masyarakat Jawa secara umum menyebut setiap pasangan suami istri pasca pernikahan dengan istilah garwa (sigaraning nyawa).

Istilah ini dalam bahasa Indonesia diartikan pecahan atau setengahnya nyawa.

Adapun nyawa adalah sumber kehidupan.

Dalam berumah tangga, suami istri harus bersama-sama merasakan suka duka (ringan sama dijinjing, berat sama dipikul).

Jika suami istri memahami peran mereka sebagai pasangan jiwa, mereka akan sukses menghadapi segala tantangan rumah tangga.

Moms, kehidupan berumah tangga secara umum tidak terlepas dari kecukupan sandang, pangan dan papan.

Kecukupan sandang, pangan, dan papan dianggap sebagai kebutuhan primer.

Secara kalkulatif, tiga kebutuhan primer di atas dapat tercukupi melalui pengelolaan ekonomi rumah tangga secara proporsional dan fungsional (gemi nastiti).

Karakter pemboros yang berbelanja tanpa mempertimbangkan kondisi bertentangan dengan prinsip hidup Jawa yang dikenal sebagai gemi nastiti.

Semakin terkelola dalam mencari dan mengatur keuangan dalam rumah tangga, seseorang akan semakin bahagia.

Perihal ini selaras dengan ajaran Asthagina yang berisi delapan kegunaan yang harus diperhatikan dalam kehidupan berumah tangga di antaranya: